Jakarta – Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas Komisi I DPR RI kembali menuai kontroversi. Sementara mayoritas fraksi DPR mendukung revisi ini, Koalisi Masyarakat Sipil menolaknya karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan melemahkan demokrasi.
RUU ini mengusulkan perubahan pada tiga poin utama, yaitu Pasal 3 tentang kedudukan TNI, Pasal 53 terkait batas usia pensiun prajurit, serta Pasal 47 yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil tertentu.
Penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan kekhawatirannya bahwa revisi ini dapat membuka kembali peran militer di luar tugas pokoknya. Mereka juga menyoroti proses pembahasan yang dinilai dilakukan secara terburu-buru tanpa keterlibatan publik yang memadai.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, mengungkapkan keresahannya terkait RUU ini dan mendesak agar proses pembahasannya dihentikan sementara untuk dilakukan kajian lebih mendalam.
"DPR seharusnya melakukan kajian lebih dalam. Pembahasan yang berlangsung cepat menghambat ruang publik untuk menyampaikan aspirasi," ujar Dimas kepada Kompas.com, Minggu (16/3/2025).
Ia juga menilai bahwa sebelum revisi ini disahkan, sudah banyak prajurit aktif yang ditempatkan di jabatan sipil yang seharusnya tidak diperbolehkan. Menurutnya, pengesahan revisi ini hanya akan memperparah kondisi tersebut.
"Dwifungsi militer bukan hanya soal keterlibatan dalam politik, tetapi juga melaksanakan tugas di luar fungsi utama mereka. Ini dapat menghambat profesionalisme TNI," tegasnya.
DPR RI Kukuh Lanjutkan Pembahasan
Meskipun mendapatkan kritik tajam, DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU ini. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah tudingan bahwa rapat-rapat pembahasan dilakukan secara tertutup.
"Rapat di Hotel Fairmont itu bukan rapat tertutup. Itu rapat terbuka yang bisa dicek dalam agenda resmi DPR," ungkapnya di Gedung DPR, Senin (17/3/2025).
Dasco juga menekankan bahwa revisi UU TNI ini telah dibahas sejak beberapa bulan lalu dan bukan merupakan keputusan yang diambil secara terburu-buru.
PDI-P Berbalik Dukung RUU TNI
Sikap PDI-P yang sebelumnya menolak RUU ini kini berubah. Bahkan, kadernya, Utut Adianto, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI.
Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menjelaskan bahwa perubahan sikap ini terjadi setelah partainya ikut membahas revisi secara mendalam bersama DPR.
"Sebelumnya, kami belum membahasnya secara resmi. Setelah diskusi bersama, kami memastikan aturan ini dapat disesuaikan agar lebih baik," ujar Puan.
Puan juga menegaskan bahwa PDI-P ingin memastikan regulasi ini tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang sehat.
Selain PDI-P, Fraksi Demokrat juga menyatakan dukungannya terhadap revisi ini. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat, Anton Sukartono Suratto, mengatakan bahwa Partai Demokrat tetap konsisten dengan prinsip reformasi militer.
"Sikap Pak SBY dan Fraksi Demokrat tetap sama, bahwa prajurit TNI aktif yang bertugas di instansi sipil di luar ketentuan UU TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dini," jelas Anton.
DPR dan Pemerintah Bantah Isu Dwifungsi ABRI
Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto membantah bahwa revisi UU TNI bertujuan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Menurutnya, justru ada upaya untuk membatasi jabatan sipil yang bisa ditempati prajurit aktif.
"Kekhawatiran soal dwifungsi ABRI tidak berdasar. Justru revisi ini bertujuan untuk memberikan batasan lebih jelas," tegas Utut.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan juga menegaskan bahwa revisi UU TNI tidak bertujuan mengembalikan peran militer seperti di era Orde Baru.
"Revisi ini tidak akan mengembalikan dwifungsi militer seperti masa lalu. Tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan," ujar Budi di Mabes Polri.
Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi juga menambahkan bahwa pasal-pasal yang dikhawatirkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil sebenarnya tidak ada dalam revisi ini.
"Kecurigaan bahwa revisi ini akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI tidak berdasar. Tidak ada pasal yang memungkinkan itu," kata Hasan.
0 Comments:
Posting Komentar